Friday 28 August 2015

Kesiapan Menghadapi Bencana

Tags

Kesiapan Menghadapi Bencana


Banyak perusahaan membangun miring disaster recovery center (DRC) untuk mengantisifasi bencana yang berpotensi mengganggu kegiatan bisnis. Namun memiliki DRC sebenarnya hanya bagian dari kesiapan menghadapi bencana.
Naskah: Halim D.mangunjudo, Consulting & Enterprise Business Director Multi-Polar Techanology


Saat ini, Teknologi Informasi (TI) sudah menjadi komponen penting kelangsungan proses bisnis sebuah perusahaan. Bahkan banyak sekali contoh bagaimana sebuah proses bisnis sangat bergantung pada dukungan layanan TI. Layanan perbankan seperti mobile bankin, internet bankin, dan ATM tidak akan bisa berjalan tanpa dukungan layanan TI. Selain itu, TI juga mengelola data dan informasi perusahaan yang menjadi aset yang sangat berharga. Keberlangsungan prosses bisnis suatu banyak bergantung pada pengelolaan data dan informasi perusahaan tersebut.
Terhentinya layanan TI merupakan momok tersendiri bagi perusahaan yang sangat bergantung pada layanan TI. Bencana (disaster) merupakan salah satu faktor yang bisa menyebabkan terganggunya, bahkan terhentinya, layanan TI. Bencana merupakan suatu kejadian yang tidak bisa diprediksi kapan terjadinya. Bencana dapat terjadi sewaktu-waktu dan berakibat fatal. Karenanya setiap perusahaan harus mempersiapkan diri terhadap terjadinya bencana.
Dalam dunia TI, kita mengenal istilah Disaster Recovery yaitu serangkaian kegiatan yang bertujuan memulihkan layanan TI akibat terjadinya bencana dalam waktu yang ditentukan. Dengan disaster recovery, kerugian yang terjadi bisa di minimalisir ke level yang dapat diterima manajemen. Untuk mewujudkan itu, banyak perusahaan membangun DRC (Disaster Recovery Center) sebagai salah satu upaya untuk memulihkan layanan TI bila terjadi bencana.
Secara terminilogi, DRC merupakan LOKASI pemulihan (recovery site)  yang digunakan saat terjadi bencana, yang mencakup fasilitas (infrastruktur & sistem TI) untuk menjalankan fungsi/operasional TI selama terjadi bencana. Dengan kata lain, bila terjadi bencana yang mengakibatkan terganggu/terhentinya layanan TI di data center, layanan TI akan dialihkan ke DRC.
Kebanyakan perusahaan sudah merasa cukup dalam menghadapi bencana dengan memiliki suatu DRC. Namun apakah benar demikian? Hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena suatu bencana memiliki dampak yang cukup luas. Suatu perusahaan harus memikirkan berbagai aspek akibat dari bencana serta terjadi bencana misalnya: Apakah suatu kejadian bisa dikatakan suatu bencana? Dalam hal ini harus ada personil yang berhak menyatakan adanya bencana, khususnya terkait TI.
Apakah pemindahan operasional layanan TI ke DRC harus dilakukan? Tidak semua bencana yang menyebabkan terhentinya layanan TI dapat diatasi dengan pemindahan layanan TI dapat diatasi dengan pemindahan layanan TI ke DRC. Dalam hal ini harus ada personil yang menentukan tindakan apa yang harus diambil bila terjadi bencana.
Apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana? Seperti yang disebutkan diatas, bencana dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa dapat diperkirakan. Pada saat terjadinya bencana, apakah masing-masing personil terkait mengetahui peran serta tindakan apa yang harus dilakukan? Dalam hal ini perlu ada suatu dokumen yang mendefinisikan peran setiap personil serta prosedur apa saja yang harus dilakukan saat terjadi bencana.
Hal-hal diatas itulah yang terakup dalam DRP (Disaster Recovery Plan). DRP merupakan serangkaian strategi  & perencanaan untuk memulihkan layanan TI setelah terjadi suatu bencana.
Untuk lebih siap dalam menghadapi bencana, perusahaan harus mulai membangun DRP.
MEMBANGUN DRP
          Dalam membangun suatu DRP, suatu perusahaan perlu melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
§  Langkah pertama perusahaan harus mengidentifikasi ancaman (threats), kerentanan (vulnerabilities) dan risiko dari layanan TI yang ada. Kegiatan ini mengenali ancaman (threats) apa saja yang mungkin terjadi serta dapat mengakibatkan terganggunya layanan TI. Beberapa ancaman yang mungkin terjadi termasuk:
·         Ancaman yang disebabkan oleh sebab alami seperti banjir, tsunami, dll.
·         Ancaman yang disebabkan oleh manusia seperti terorisme, sabotase, perusakan, dll.
·         Ancaman yang disebabkan karena sebab teknis seperti kerusakan server, kerusakan jaringan, kerusakan fasilitas pendukung, dan lain-lain.
Perusahaan kemudian dapat mengidentifikasi tingkat kerentanan layanan TI yang ada serta risiko yang dapat timbul akibat terjadinya ancaman-ancaman tersebut. Kegiatan selanjutnya adalah menentukan mitigasi yang harus dilakukan untuk memperkecil kerentanan dan risiko terhadap ancaman-ancaman.
§  Langkah kedua perusahaan mengidentifikasi seberapa besar dampak yang ditimbulkan bila suatu proses bisnis terganggu/terhenti akibat terjadinya bencana. Kegiatan ini juga mengidentifikasikan seberapa besar batas dampak kerugian yang mampu ditanggung oleh perusahaan atas terhentinya proses bisnis tersebut. Berdasarkan hal tersebut, perusahaan dapat menentukan MTD (maximum tolerable downtime), yaitu waktu maksimum waktu terhentinya setiap proses bisnis yang bisa ditanggung oleh perusahaan.
Selanjutnya perusahaan akan mengidentifkasi layanan TI apa saja yang diperlukan oleh setiap proses bisnis agar tetap dapat berjalan. Layanan TI tersebut harus segera dapat dipulihkan agar proses bisnis dapat berjalan. Hal ini terkait dengan langkah selanjutnya yaitu menentukan RTO (Recovery Time Objective) atau waktu yang harus dipenuhi untuk memulihkan layanan TI.
§  Langkah ketiga perusahaan menyusun dalam Recovery Strategy yaitu strategi apa yang akan diambil oleh perusahaan untuk memulihkan layanan TI. Salah satu strategi adalah dengan membangun suatu DRC sebagai alternate site untuk mengalihkan layanan TI dari data senter bila terjadi bencana. Dalam hal ini perusahaan harus menetukan apakah suatu DRC bersifat hot site, warm site, atau could site. Perusahaan juga harus menentukan seberapa besar kapasitas dari DRC  yang akan dibangun. Setiap pilihan akan sangat menetukan dalam hal biaya. Karenanya penetuan strategi harus diperhitungkan dengan baik mempertimbangkan dampak, risiko yang akan ditanggung versus biaya yang perlu dikeluarkan.
§  Langkah keempat perusahaan menyusun peran serta aktifitas yang harus dilakukan saat terjadinya bencana. Kegiatan ini menentukan siapa saja yang akan terlibat bila terjadi bencana serta peran masing-masing. Kegiatan ini juga menyusun prosedur step-by-step yang harus dilakukan oleh setiap personil yang terlibat dalam kegiatan penanganan bencana yang meliputi antara laian:
·         Respon/tindakan pada saat terjadinya bencana atau keadaan yang memungkinkan terjadinya bencana.
·         Kegiatan yang harus dilakukan untuk memulihkan layanan TI akibat terjadinya bencana.
·         Kegiatan untuk melihat seberapa besar dampak kerugian yang ditimbulkan oleh suatu bencana.
·         Kegiatan pemulihan dan restorasi layanan TI.
Kegiatan-kegiatan diatas merupakan kegiatan yang harus dilakukan untuk menyusun suatu DRP yang lengkap. Kegiatan tidak berhanti begitu saja setelah memiliki DRP yang lengkap. Banyak kasus terjadi ketika DRP hanya menjadi dokumen yang tersimpan begitu saja. Akibatnya, pada saat terjadi bencana personil-personil terkait tetap tidak mengetahui harus melakukan apa. Karenanya dokumen DRP harus disosialisasikan dengan baik serta selalu diperbaharui. Perusahaan harus melakukan pelatihan secara berkala bagi personil-personil terkait agar mereka siap bila sewaktu-waktu terjadi bencana.
Yang juga perlu diperhatikan adalah DRP hanya menyentuh hal-hal yang terkait dengan layanan TI seperti aplikasi server, dan jaringan. DRP tidak menyentuh hal-hal yang terkait dengan proses bisnis perusahaan itu sendiri. Pemulihan proses bisnis akibat terjadinya bencana dicakup dalam suatu BCP ( Business Continuity Plan). Karenanya, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah membangun DCP.


EmoticonEmoticon